Perempuan dalam Bisnis

wpc - wanita dlm bisnis

Isu gender dalam dunia kewirausahaan masih berlaku hingga saat ini. Namun yang perlu kita ketahui, isu tersebut bukan lagi tentang kesenjangan jumlah antara wirausaha laki-laki dan perempuan. Justru yang saat ini berkembang adalah berkaitan dengan kesetaraan keduanya dalam berbisnis.

Paradigma ‘lawas’ mungkin mengatakan bahwa laki-lakilah yang banyak bekerja dan menciptakan pekerjaan bagi masyarakat. Namun, kini paradigma tersebut telah bergeser. Global Entrepreneurship Monitor (GEM), sebuah riset tentang kewirausahaan negaranegara di dunia, menghasilkan informasi bahwa tahun 2016, Indonesia telah menjadi salah satu negara di Asia dengan tingkat kesenjangan yang rendah antara perempuan dan laki-laki dalam wirausaha.

Seperti apa ciri perempuan yang berperan dalam membangun bisnis? Menurut GEM, perempuan dengan persepsi positif terhadap kemampuan dan keterampilan dirinya mendominasi tipe perempuan tersebut. Dengan kata lain, perempuan yang berkarakter percaya diri adalah mereka yang mampu mengawal kesuksesannya. Keinginan untuk bisa mengaktualisasikan diri dan berperan dalam masyarakat menjadi motivasi besar bagi perempuan yang mau berkecimpung dalam dunia wirausaha.

Hani dkk (2012), dalam jurnal terkemuka bidang ekonomi dan bisnis, memberikan bukti bahwa dari 46 juta UMKM di Indonesia, 60% pemiliknya ialah perempuan. Meskipun sebagian besar dari perempuan yang berbisnis masih berada di tataran UMKM, namun fakta ini mengindikasikan bahwa perempuan sudah bergerak lebih proaktif daripada bayangan masyarakat.

Namun, nyatanya ada banyak fenomena penyebab ‘kegalauan’ bagi perempuan dalam berbisnis. Pertama, kodrat sebagai perempuan itu sendiri. Norma sosial dan budaya, baik secara eksplisit maupun tidak, mendorong perempuan agar menikah dan menjadi ibu pada usia tertentu. Setelahnya, perempuan juga akan memiliki tanggung jawab baru, yaitu sebagai ibu rumah tangga.

Ini tidak hanya berlaku bagi perempuan di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Kecenderungan setelah menikah, pemenuhan kebutuhan ekonomi akan diserahkan kepada suami. Sedangkan bagi suami, tidak ada alasan untuk wajib melanjutkan bisnis yang dibangun istrinya maupun menjadikannya pekerjaan utama. Ada juga banyak suami yang malah tidak mengizinkan dan memberikan dukungan istrinya untuk melanjutkan bisnis.

Yang terjadi kemudian, bisnis yang telah dibangun tidak mencapai tahap matang. Fakta ini sama seperti yang terjadi di Amerika Latin dan Afrika sub-Saharan, yang mana ada banyak wirausaha perempuan, namun hanya sedikit bisnis yang bertahan lama karena alasan serupa.

Tahapan terberat dalam bisnis berada di antara titik waktu pertama kali didirikan hingga pada saat bisnis tersebut mulai bisa dikatakan mapan. Pada tahap ini, si pemilik harus memusatkan sebagian besar perhatiannya hanya kepada bisnis tersebut. Jika tidak, untuk mencapai tahapan matang (established business), akan sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Di Indonesia, aktivitas tahap awal bisnis (earlystage entrepreneurial activity) ini justru banyak dilakukan pada usia 25-44 tahun. Padahal, pada usia tersebut, idealnya seseorang telah berumah tangga. Akibatnya, fokusnya mudah terpecah.

Kedua, faktor finansial. Bagi perempuan di Asia Tenggara, aspek finansial juga menjadi masalah yang besar dalam upaya pembangunan bisnis. Akibat kesulitan akses ke dalam sumber keuangan, perempuan banyak gagal dalam berbisnis, bahkan banyak yang menyerah di awal-awal pendiriannya. Bank cenderung mau mendanai usaha setelah berumur rata-rata 2-3 tahun. Fakta lainnya, beberapa bank lebih mau mendanai usaha yang pemiliknya laki-laki daripada perempuan. Ini berkaitan dengan jaminan kredit.

Selain itu, paradigma bahwa laki-laki selalu lebih mampu daripada perempuan, juga masih melekat di masyarakat.

Ketiga, faktor pendidikan yang menjadi dua mata pisau jika dikaitkan dengan wirausaha. Pendidikan memberi bekal untuk meningkatkan ilmu pengetahuan bisnis, tetapi untuk menempuh pendidikan itu sendiri juga dibutuhkan waktu. Hal inilah yang juga menyebabkan kebanyakan perempuan memulai bisnis justru sejak mereka berusia 25-44 tahun. Karena pendidikan tinggi, misalnya hingga strata dua, baru selesai pada usia tersebut.

Selain karena faktor-faktor tersebut, masih banyak faktor lainnya yang menjadi hambatan perempuan dalam berbisnis. Di antaranya lokasi geografis dan jangka waktu proses administratif. Misalnya bagi perempuan yang tinggal di wilayah perdesaan, mereka memiliki tantangan tersendiri dalam mendirikan bisnis, yakni dengan beragam keterbatasan, ia harus mampu memelihara relasi dengan pihak-pihak di luar wilayahnya agar tetap bisa menghasilkan atau menjual produk/ jasanya.

Proses administratif dalam menjalankan bisnis di Indonesia juga cenderung membutuhkan waktu yang lama, seperti halnya pengurusan perizinan. Jangankan untuk mencapai tahap matang, untuk menyelesaikan tahap start-up pun sudah membutuhkan waktu beberapa tahun.

Karena masih banyaknya hambatan bagi perempuan dibanding laki-laki dalam berbisnis, maka yang kini menjadi pertanyaan, apakah kuantitas yang hampir sama antara wirausaha perempuan dan lakilaki ini juga menunjukkan kualitas yang setara? Mengingat hambatan tersebut bersifat inheren sehingga sulit diatasi, maka pertanyaan ini juga menjadi sulit untuk dijawab.

Bisnis memang bukan menjadi kewajiban bagi para perempuan. Tapi bagaimanapun, kesetaraan dalam berbisnis adalah hak yang dibutuhkan oleh perempuan, terlepas dari mampukah untuk sebanding atau tidak dengan laki-laki dalam hal kualitas. Lalu, apakah perihal keluarga bagi perempuan lantas sebaiknya menjadi prioritas kedua setelah bisnis?

Jawabannya tentu saja tidak. Keluarga tetap bisa menjadi prioritas utama bagi perempuan yang berbisnis. Untuk itu, kuncinya agar perempuan tetap bisa berbisnis adalah dengan memulainya sejak usia masih muda. Usia 20-25 tahun merupakan usia ideal untuk membangun usaha bagi seorang perempuan. Ketika sudah mulai berkeluarga, bisnis tersebut diharapkan sudah mulai memasuki tahap matang sehingga seorang perempuan sudah tidak harus mengawasi jalannya bisnis secara penuh waktu. Bagaimanapun, kodrat perempuan tidak bisa dikesampingkan.

Dari pembahasan ini, kita bisa simpulkan bahwa motivasi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan bisnis tidaklah kalah dengan laki-laki. Akan tetapi, dari banyak segi, perempuan lebih banyak mengalami hambatan yang menyebabkannya terpaksa menurunkan konsentrasi terhadap bisnis.

Terlepas dari itu, kesempatan perempuan untuk berbisnis sama dengan laki-laki menjadi yang terpenting. Yang dibutuhkan yaitu perencanaan dan manajemen waktu yang hati-hati agar dapat tetap bisa menjalankan bisnis dengan baik.

Untuk itu, selagi masih muda, disarankan bagi para perempuan yang tertarik berwirausaha agar mengonsep dengan matang rencana bisnisnya, memilih strategi pemasaran yang efektif, membangun jaringan kerja sama seluas-luasnya, dan melakukan manajemen sumber daya untuk memeroleh orang-orang terpercaya. International Finance Corporation dari World Bank Group menerangkan dalam hasil risetnya bahwa sumber informasi terbanyak dalam pertimbangan bisnis adalah dari teman atau kenalan, pasangan, dan pengalaman sendiri.

Oleh karena itu, tiga hal tersebut perlu dipelihara dan dikembangkan dengan baik. Oleh karena pendidikan adalah faktor penting dan sumber pengetahuan dalam berbisnis, maka tidak bisa jika kemudian antara pendidikan dan wirausaha menjadi pilihan bagi perempuan. Keduanya bisa berjalan bersama-sama meskipun untuk menjalaninya harus dibarengi dengan konsekuensi tenaga dan waktu yang ekstra.

Tugas kita semua ialah menghilangkan persepsi bahwa perempuan tidak lebih baik dari laki-laki. Bagi perempuan, menjadi wirausaha adalah tantangan yang besar dan tidak mudah dilalui. Namun, bukan berarti itu tidak mungkin.

Sumber : https://www.beritasatu.com/investor/464172-perempuan-dalam-bisnis.html, Lufi Yuwana Mursita, Mahasiswa Magister Sains Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Comments

comments

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *